Pada pertengahan Juni 2014 penulis dan
beberapa kawan berkesempatan untuk berkunjung di Pulau Seram tepatnya di
perkampungan suku Naulu yang merupakan salah satu suku yang mendiami pulau
tersebut. Pulau Seram adalah pulau yang terbesar di Provinsi Maluku dengan luas
wilayah yang sebagian besar hutan dan pegunungan, pulau ini juga didiami oleh
beberapa suku lokal yang diantaranya suku Naulu, Waulu dan Suku Batik. Kami
sengaja datang ke komunitas suku Naulu karena menurut informasi dari beberapa
sumber dan cerita lisan dari mulut ke mulut bahwasanya Suku Naulu masih
beragama Hindu dan memegang teguh ritual adat yang kental. Setelah mengumpulkan
beberapa referensi baik dari media Internet maupun kawan-kawan yang berdomisili
di beberapa kota di wilayah Seram kami memutuskan untuk beranjangsana kepada saudara-saudara
etnis Naulu di daerah Negeri Nua Nea yang jaraknya kurang lebih sekitar
sembilan kilometer dari pusat kota Masohi ibukota Kabupaten Maluku Tengah dan
kemudian masuk ke arah hutan sekitar lima kilometer. Awalnya kami berpikir akan
sulit untuk berkomunikasi dengan saudara dari Naulu karena melihat rumah-rumah
adat mereka yang masih alami dari kayu, bambu dan atap daun rumbia, tentunya
dalam benak kami mereka tidak fasih berbahasa Indonesia, namun semua itu
terbantahkan setelah bertemu dengan tokoh adat yang juga adik ipar Bapa Raja
(Kepala Suku) yaitu bapak Saka Sonawe yang bersedia berbagi informasi sedikit
tentang kehidupan etnis Naulu.
Menurut penuturan narasumber bahwa
suku Naulu mempunyai ciri khas dengan ikat kain merah di kepala bagi laki-laki
yang sudah menginjak dewasa, ikat kain tersebut wajib dipakai setiap hari dan
selama mata masih terbuka kecuali saat tidur, kain merah adalah simbol
kedewasaan dan tanggung jawab sebagai lelaki. Lelaki Naulu tak boleh menikah
sebelum melakukan upacara pake kain merah
karena itu adalah syarat utamanya, jika ada yang melanggar maka adat akan
memberikan sanksi yaitu membayar piring
tua kepada si pelanggar dan yang paling maksimal dikeluarkan dari silsilah
Naulu. Piring Tua adalah sebutan untuk hukuman yang susah untuk di terima,
menurut narasumber orang yang kena sanksi membayar piring tua mustahil bisa
memenuhi hukuman tersebut karena jaman sekarang sulit mencari peninggalan
piring tua di suku Naulu. Sebagian besar suku Naulu juga masih mengaku beragama
Hindu, mereka menolak jika ada beberapa misionaris dari agama tertentu yang
mengajak untuk bergabung dan yang paling ekstrim adalah jika ada anggota
keluarga yang keluar dari Hindu maka tak segan-segan untuk dikeluarkan dari
adat Naulu yaitu namanya tidak tercatat dalam silsilah Naulu, namun meskipun
dikeluarkan dari adat dan silsilah warga Naulu tetap menjaga rasa persaudaraan
tidak putus karena bagaimanapun juga itu bagian dari gandong (saudara kandung) mereka. Etnis Naulu yang beragama Hindu
di Negeri Nua Nea kurang lebih 150 kepala keluarga itupun yang tercatat dan
yang mempunyai KTP (kartu Tanda Penduduk) belum lagi yang masih berada dalam
hutan-hutan belum terdeteksi petugas catatan sipil karena faktor transportasi
dan geografis ataupun sabotase data. Dalam kehidupan kesehariannya peribadatan Naulu tidak mengenal hari raya
maupun hari suci meskipun mereka punya sebutan Tuhan menurut bahasa daerahnya
yaitu Natanaka , karena tidak ada
hitungan khusus baik kalender maupun kitab adat, ibadah dilakukan secara
sederhana, sendiri-sendiri dari setiap rumah dan tidak tentu waktunya misalnya saat
akan mengadakan upacara adat, berangkat berburu dan berkumpul keluarga. mata pencaharian etnis
Naulu di Negeri Nua Nea adalah berkebun cokelat dan tanaman berumur pendek
(jagung dsb) dan untuk menunggu musim panen laki-laki dewasa mengisi waktu luang
dengan berburu babi maupun binatang lainnya di hutan selama berhari-hari dengan
senjata tombak, parang dan panah, penduduk Naulu lebih suka berburu di hutan
daripada memelihara binatang ternak di pemukiman karena lebih efektif dan
tentunya menantang.