Pada zaman dahulu dari informasi yang penulis dapatkan dari hasil wawancara dengan tokoh adat didesa setempat bahwa sekitar tahun 1810 ada seorang tokoh spiritual yang berasal dari Bali Beliau bernama Ketutyang sering di sebut dengan namaTebtut, beliau mempunya istri yang berasal dari desa Tanimbar Kei yang bernama NenSikre, Beliau kemudian mengajarkan ajaran spiritual kegamaan yaitu ajaran agama Hindu dan taradisi adat. Tetapi jauh sebelum beliau datang sebutan agama Hindu sudah ada di desa ini. Dari hasil wawancara dengan para tokoh adat mengungkapkan bahwa sebutan agama Hindu bagi umat di desa tanimbar Kei sudah ada sebelum zaman penjajahan Belanda. dari hasil wawancara dengan tokoh adat didesa setempat bahwa agama Hindu sudah berkembang pada zaman kerajaan Majapahit. Dalam perkembanganya jauh sebelum masuknya agama Hindu, di desa Tanimbar Kei sudah memegang teguh adat, tradisi dan kepercayaan setempat yaitu kepecayaan terhadap benda-benda sacral, dan mitu (leluhur) yang suci. Setelah perkembangan waktu berjalan masuklah ajaran Hindu di desa ini karena ajaran Hindu bersifat Universal, terbuka dan dapat menyesuaikan diri dengan teradisi desa setempat maka tokoh adat desa Tanimbar Kei menerima ajaran agama Hindu sebagai suatu keyakinan masyarakat setempat. Hal ini dibuktikan dengan simbol-simbol yang masih terdapat di rumah-rumah adat yang ada di dalam ajaran Hindu. Salah satunya yaitu keyakinan tentang mitu dan sirih pinang terkandung juga di dalam nilai-nilai ajaran Hindu yaitu konsep Panca Sraddah dan kerangka dasar ajaran Hindu.
Desa Tanimbar Kei terdiri dari dua pembagian lokasi dan satu dusun yang biasa di sebut :
1. Ohoratan (kampung atas)
Kampung atas memiliki sejarah yang sangat panjang karena pada zaman dahulu paramitu (leluhur) bermukim atau bertempat tinggal di kampung atas. Kampung atas berada tepat di atas tebing yang tingginya sekitar 25 m. kampung atas sangat di sucikan dan di sakralkan oleh umat Hindu di desa Tanimbar Kei. Karena memiliki peninggalan seperti tempat-tempat suci rumah adat yang masih ada sampai sekarang. Ini merupakan warisan turun-temurun yang sangat di sucikan. Benda-benda peningalan seperti rumah adat, Arca (Wadah), meriam yang merupakan peningalan zaman Belanda, gelang yang terbuat dari timah, tembaga,mas dan uang gobang (Pis Bolong) semua ini sangat berperan dalam melaksanakan proses ritual adat.
Kampung atas biasa di sebut dengan ohoratan. Pada zaman dahulu masyarakat masih bermukim di kampung atas karena mayoritas masyarakat dan tokoh adat beragama Hindu. Setelah perjalan waktu dan masuknya ajaran komunitas lain banyak yang beralih ke komunitas agama lain sehingga banyak yang tinggal di kampung bawah. Banyak hal yang membuat komunitas dari umat lain beralih tempat tinggal yaitu :
a. Karena Ohoratan(kampung atas) terdapat banyak tempat sakral yang sangat di sucikan. Mengingat kesucianya itu maka dilarang (pamali)orang melakukan kebisingan atau keributan sehingga sebagian masyarakat desa Tanimbar Kei yang beragama Non Hindu beralih ke kampung bawah dan dusun Mun.
b. Penerus kepala marga yang tinggal di rumah adat harus baragama Hindu. Ini merupakan aturan tradisimitu (leluhur) yang tidak boleh dilanggar. Karena akan berdampak buruk bagi kesejahteraan keluarga tersebut dan masyarakat desa Tanimbar Kei.
Dari penjelasan kedua poin di atas. Menjadi pertimbangan bagi komunitas agama lain untuk tinggal di kampung atas karena rasa menghormati dan menghrgai tradisi dan adat istiadat para mitu(leluhur), sehingga merekapun beralih tingal di kampung bawa dan dusun Mun, karena dikhawatirkan apabila di bangun gereja, bunyi lonceng gereja dapat membuat kebisingan di kampung atas pada saat proses pelaksanaan ritual adat dan tradisi Hindu, serta posisi kepala marga yang tinggal di rumah adat atau yang menjaga rumah adat harus memegang teguh ajaran mituyaitu masih berada pada jalur keyakinan agama Hindu.Sehingga komunitas agama lain baik Islam maupun Kristen beralih tempat tinggal kampung bawa dan dusun Mun.
2. Tahat (kampung bawah)
Kampung bawah (Tahat)sudah ada sejak zaman dahulu dan masyarakat yang bermukim di tahat dahulunya mayoritas beragama Hindu. Seiring dengan perkembangan zaman, maka masyarakat yang bermukim ditahat sudah bermacam komunitas yang terdiri dari Islam, Katholikdan Protestan perkembangan dari komunitas Ktolik dan Protestan tidak di bawa masuk ke desa tanimbar Kei melainkan terjadi karena pernikahan campur antara masyarakat Hindu desa Tanimbar Kei dengan komunitan Non Hindu di daerah lain sehingga banyak dari keturunan komunitas lain yang kembali tingal di desa Tanimbar Kei. Pada tahun 1969 dari hasil rapat para tokoh adat menyampaikan agar komunitas Non Hindu tersebut bermukim di dusun Mun. Ini semua bertujuan untuk menghormati para leluhur dan menghormati proses kesakralan ritual tradisi yang sering dilakukan di kampung atas yang steril dari suara-suara bisingan. Ini semata-mata untuk menjaga bunyi kumandang sembahyang yang dilakukan dari tempat ibadah komunitas non Hindu agar tidak menggangu proses ritual dan tradisi yang sering dilakukan di kampung atas.
3. Dusun Mun
Dusun Mun merupakan sebuah lokasi pemukiman masyarakat yang berada di desa Tanimbar Kei. Letaknya tidak jauh dari kampung atas dan kampung bawah. Mayoritas masyarakat yang tingal di dusun Mun beragama Islam. Masyarakat yang tinggal di dusun Mun masih memiliki hubungan persaudaraan yang sangat erat dengan umat yang berda di kampung atas dan kampung bawah. Semua masyarakat yang berada di ketiga lokasi ini merupakan satu keturunan Nenek moyang dan bersaudara. Masyarakat sudah berada di dusun Mun sejak tahun 1969.
Awal perpindahan masyarakat ke lokasi baru dusun Mun ini, disebabkan karena sekitar tahun 1967 ada masalah kesalapahaman keributan (membunyikan lonceng gereja) pada saat umat Hindu desa Tanimbar Kei sedang melaksanakan tradisi Tate’e. Maka disitulah awal mulanya masyarakat desa Taimbar Kei membentuk dusun Mun sebagai tempat bermukim komunitas Islam, Katolik dan komunitas Protestan. Setelah perkembangan waktu yang cukup lama komunitas Katolik dan Protestan kemudian kembali bemukim lagi di desa Tanimbar Kei sehingga sampai sekarang ini mayoritas yang tingal di dusun Mun beragama Islam.
Pada awal sejarah masuknya komunitas Islam, para tokoh adat tidak mau menerima ajaran agama islam untuk masuk di desa Tanimbar Kei, ini dibuktikan dengan sebuah symbol kayu yang ditancapkan yang posisinya berada didepan laut Desa Tanimbar Kei sebagi respon tidak setuju akan masuknya komnitas Islam. Yang membawa masuk pertama kali ajaran Islam ke desa Tanimbar Kei adalah Mabal Latar beliau berasal dari desa Banda Eli. Desa ini mayoritas penduduknya beragama Islam lokasinya berada masih sekitar daerah Maluku tenggara.
Sejak saat itulah masyarakat dari desa Banda Eli kemudian mengangkat Desa Tanimbar Kei sebagai Pela(saudara), sehingga simbol kayu tersebut sebagai lambang Pela(persaudaraan). Seiring dengan perkembangan waktu masyarakat desa Tanimbar Kei mulai ada yang beralih ke ajaran komunitas Islam. Sedikit demi sedikit komunitas islam mulai bertambah sehingga muncul ide dari masyarakat yang masuk komunitas Islam untuk membangun tempat Ibadah atau Mesjid, setelah niat untuk membangun tempat suci ini disampaikan kepada para tokoh adat, para tokoh adat kemudian memberikan lokasi tempat untuk beermukim bagi komunitas islam di dusun Mun yang jaraknya dari kampung atas dan kampung bawah sekitar 2 km. hal ini tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan para tokoh adat tentang suara kumandang masjid yang dapat mengangu jalanya proses ritual dan upacara. Ritual upacara tidak bleh tergangu dengan suara kebisingan dan ini sudah berlangsung turun temurun dari sejak zaman para leluhur.
@Copyright2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar