Jumat, 16 Oktober 2015

Takut Hinduisasi Umat Islam Purwakata Turun Ke Jalan

PURWAKARTA — Ribuan ummat islam Purwakarta mengikuti pawai obor (Budaya Hindu)  & Parade tauhid keliling kota untuk menyambut Tahun Baru Islam 1437 Hijriyah Selasa (13/10) malam. Mereka meluapkan kegembiraan dengan sholawat dan dzikir sepanjang jalan.
Ummat Islam Purwakarta memulai pawai obor di depan Kampus UPI setelah melaksanakan sholat maghrib berjama’ah dan Pembacaan do’a awal dan akhir tahun.
Peserta pawai obor terdiri dari utusan Pondok pesantren, majlis ta’lim, organisasi massa Islam, dan elemen masyarakat lainnya. Dengan rute melintasi Jl.veteran – Jl.Sudirman – dan finish di Pemda.
Pawai obor & Parade tauhid yang dipimpin langsung oleh KH.Muhammad Syahid Joban.Lc mengusung tema : Purwakarta Kota tasbeh bukan kota hindu.
“Purwakarta adalah kota tasbeh, yang menjunjung tinggi nila-nilai islam, bahkan Purwakarta gudangnya pondok pesantren, gudangnya kiayi, gudangnya ulama. Karena itu, tidak pantas Purwakarta di-hindukan. Ujar KH.Syahid Joban, Pimpinan majlis Manhajussholihin dan selaku penyelenggara acara pawai ini.
Dibawah kepimpinan bupati Dedi Mulyadi, memang sangat kental hinduisasi islam di Purwakarta, mulai membuat patung-patung, mendirikan Gapura hindu, Janur penjor hindu, sampai pohon dililit kain hitam putih dan diberikan lis kuning.
KH.Syahid Joban yang rasis tersebut menambahkan : “Dalam momentum Tahun baru islam ini saya mengajak kepada seluruh ummat islam di Purwakarta untuk bangkit melawan hinduisasi islam di Purwakarta dan hijrah kembali menuju kota tasbeh.”
Acara pawai obor (budaya Hindu Nusantara) yang berjalan aman dan tertib ini berakhir di pemda dilanjutkan sholat isya berjama’ah dan mendengarkan tausyiah hikmah hijrah serta dzikir bersama. Tanpak hadir Tokoh Ulama purwakarta Hb.Hasan Syu’eb, KH.Ridwan Alam syah, Ust.Asep Hamdani, Ust.Dadang Sadusin, Ust.Anwar dan para ulama lainnya yang juga orang orang yang Rasis dan tidak memiliki rasa toleransi beragama.

Pihak kepolisian telah dihubungi dan akan segera menyelidiki pihak pihak yang ikut serta dalam kegiatan yang anti pancasila dan anti toleransi beragama tersebut.

© Copyright 2015

Rabu, 14 Oktober 2015

Apakah Ini Pelecehan Canang?

FOTO: Apakah ini Canang?





Dilansir dari Wikipedia, Canang sari merupakan upakāra (perlengkapan) keagamaan umat Hindu di Bali untuk persembahan tiap harinya. Persembahan ini dapat ditemui di berbagai Pura), tempat sembahyang kecil di rumah-umah, dan di jalan-jalan sebagai bagian dari sebuah persembahan yang lebih besar lagi.

Canang sendiri merupakan salah satu bentuk banten atau “persembahan”. Dari segi penggunaan, bentuk, dan perlengkapannya, canang dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain Canang Genten, Canang Burat Wangi, Lenge Wangi, Canang Sari, dan Canang Meraka.

Canang memiliki peranan yang sangat penting dalam ritual keagamaan umat Hindu di Bali sehingga juga disebut Kanista atau “inti dari upakara”. Sebesar apapun upakara tersebut maka tidak akan menjadi lengkap kalau tidak diisi dengan canang.

Canang sari digunakan sebagai persembahan harian kepada Sang Hyang Widhi Wasa sebagai ungkapan syukur atas kedamaian yang telah diberian kepada dunia; merupakan persembahan rumah tangga yang paling sederhana. Filosofi dari proses persembahan adalah mengurbankan diri sendiri, sebab perlu waktu dan tenaga untuk mempersiapkan persembahan. Canang sari tidak digunakan saat ada kematian di dalam masyarakat atau keluarga.

Namun apa jadinya bila Canang di salah fungsikan seperti ini ?

Dari situs Vikki Bates Photography Canang diposisikan pada daerah kewanitaan wanita (pada model), Apakah bisa ditempatkan seperti ini?

©Copyright 2015

Selasa, 13 Oktober 2015

WAFATNYA SHRI KRISHNA PADA USIA 125 TAHUN DAN KUTUKAN GANDHARI

WAFATNYA SHRI KRISHNA PADA USIA 125 TAHUN DAN KUTUKAN GANDHARI




Menurut sebuah perhitungan Sri Krisna meninggal di usia 125 tahun, 7 Bulan, 6 hari, pada jam 14:27:30 tanggal 18 Februari 3102 SM, di tepi sungai Hiran, Prabahs Patan (Gujarat). Perhitungan ini dinyatakan berdasarkan petunjuk dari kitab-kitab kuno dengan perincian: Visnu Purana dan Bhagavad Gita menyatakan Ia "meninggalkan" Dwaraka 36 tahun setelah perang Mahabharata. Matsya Purana menyatakan ketika perang Mahabharata, Ia berusia 89 tahun.

o   Vishnu Purana 4.24 dan 5.38 serta Srimad Bhagavata /Bhagavata Purana 1.18.6menyatakan bahwa era Kaliyuga mulai bertepatan dengan wafatnya Krisna.
o   Usia Krisna saat perang kurusetra adalah 89 tahun [Yudistira yang saat Perang di kurustra berusia 91 tahun dan Krishna lebih muda 2 tahun dari Yudistira]
o   Stri Parva 11.25: Gandhari, di saat prosesi upacara penyelesaian kematian bangsa kuru setelah perang di kurusetra, menyampaikan kutukan pada Krisna bahwa 36 tahun kemudian bangsa Yadawa akan musnah, tahun ini juga yang akan menjadi akhir kehidupan Krisna.
o   Srimad Bhagavata 11.6.25: Brahma mengatakan telah 125 musim gugur berlalu sejak krisna lahir yang diucapkan di menjelang hancurnya bangsa Yadawa.



Jadi, untuk mengetahui kapan kaliyuga/wafatnya Krisna, maka harus diketahui terlebih dahulu kapan perang di kurusetra terjadi. Dari 18 Parva di Mahabharata, hanya 4 Parva (ke-10, 11, 17 dan 18) yang tidak berisi petunjuk-petunjuk astronomi berupa: Posisi konstalasi bintang, bintang, Matahari, bulan, planet, lintasan komet, gerhana matahari dan/atau gerhana bulan dan posisi/lintasan relatif mereka apakah di area utara/meninggi (rahu) atau selatan/menurun (ketu) yang orang-orang saat itu gunakan dalam penanggalan sejak jaman dulu, misal pada sample percakapan Skanda dan Indra di Vana Parva, menunjukan observasi bergesernya bintang telah dilakukan jauh sejak 23.000 SM-an (dari lama lintasannya).
Dalam melakukan perhitungan kapan terjadinya perang di Kurusetra, tidak semua ahli mengikuti petunjuk-petunjuk astronomi di atas. Di antara mereka, yang menggunakan petunjuk itu, beberapa akhirnya mengabaikannya, misal: posisi Shani (Saturnus) di Rohini (Aldebaran); Mangala (Mars) di Jayestha (Antares) di perang 18 hari dengan 2 gerhana kembar (gerhana bulan di Krutika dan gerhana matahari di Jayestha) yang terjadi dalam kurun waktu 13 hari. Diantara yang menghitung dengan petunjuk itu, mereka membatasi observasinya pada interval 600 SM s.d 3500SM dan tidak sebelumnya. 
Berikut di bawah ini adalah beberapa variasi tahun kapan perang Kurusetra terjadi: 
o   Prof. I.N. Iyengar yakin perang tersebut terjadi tahun 1478 SM
o   Dr. S. Balakrishna yakin perang tersebut terjadi tahun 2559 SM.   Juga disampaikannya bahwa Aryabhatta menyatakan Kaliyuga di mulai pada 3102 SM
o Kitab Surya Siddhanta [Translation of an Ancient Indian Astronomical Text. Translation by Bapudeva, Varanasi, 1860] menyatakan matahari 54 derajat dari vernal equinox di Ujjain (75deg 47minE, 23deg 15min N) untuk Kaliyuga (yang dalam kalendar Julian:17/18 February 3102 SM). 
o   Dr. B.N. Achar yakin perang tersebut terjadi di 22 Nov - 12 Des 3067 SM 
o   Dr. P.V. Holay yakin perang tersebut terjadi mulai 13 Nov 3143 SM 
o   Dr. P.V.Vartak yakin perang tersebut terjadi mulai 6 Okt - 2 Nov 5561 SM 


Bagaimana wafatnya Krisna dan apa pesan terakhirnya?

Sebab awal wafatnya Krisna di sampaikan Itihasa Mahabharata, di Striparwa (bagian ke-11) dan puncak kejadianwafatnya disampaikan di Mosala parwa (bagian ke-16):

Striparva

Ketika dilangsungkan upacara pembakaran mayat, semua anak menantu Gandari telah menjadi janda dan menangis sedih di hadapan mayat-mayat suami yang telah tewas. Gandari juga ada di tempat itu. Para Pandawa dengan ditemani oleh Kunti dan Sri Krisna juga hadir di iringi oleh rakyat yang merasa sangat sedih karena kehilangan sanak saudara mereka. krisna menghibur Gandari, dan berkara, ‘ Mengapa Ibunda menangis? Inilah dunia Ibupun pada suatu ketika akan meninggalkan dunia ini. lalu mengapa menangis?’. Gandari menjawab, ‘Kalau saja anda tidak merencanakan hal ini maka semua anak-anak-ku akan hidup, tidak terbunuh seperti ini. Krisna menjawab, ‘Perang untuk menegakan Dharma tidak dapat dicegah. Apa yang dapat kuperbuat, aku hanya suatu alat’. Lalu Gandari berkata, ‘Paduka ini Taraka Brahma. Apabila paduka menghendaki, paduka bisa mengubah pikiran mereka tanpa perlu melakukan pertempuran’. 
Biarlah seluruh dunia melihat dan menarik pelajaran. 

Selanjutnya Gandari mengucapkan sumpah, ‘Seperti halnya anggota keluargaku mengalami kehancuran dihadapan mataku sendiri demikianlah hendaknya anggota keluarga paduka mengalami kehancuran dihadapan mata paduka sendiri’

Krisna tersenyum dan menjawab, ‘Semoga demikian’. Krisna menerima sumpah itu. Ia ingin menunjukkan bahwa kekuatan moral itu mempunyai nilai dalam kehidupan dan kekuatan itu harus diakui adanya [Di atas ini versi: 
AnandaMarga, oleh: Srii SriiAnandamurti]


Kutukan Gandhari menurut terjemahan dari Kisari Mohan Ganguli, tr (Striparva, Bab ke-25):
            .."Gandhari berkata, O Krishna, baik ‘Pandawa dan Dhartarashtra, keduanya telah terbakar. keduanya terbasmi, O Janardana, mengapa engkau abaikan mereka? Engkau sangat kompenten mencegah pembantaian ini, Engkau punya sejumlah besar pengikut dan berkekuatan besar. Engkau sangat fasih berbicara, dan engkau punya kekuatan (untuk mewujudkan perdamaian). Karena dengan sengaja, O pembunuh dari Madhu, engkau acuh tak acuh terhadap pembantaian massal ini, oleh karenanya, O Senjata yang paling perkasa, engkau seharusnya menuai buah tindakan ini. Dengan kebaikan kecil yang telah aku dapatkan dari kepatuhanku melaksanakan kewajiban pada suamiku, dengan pahala itu yang begitu sulit diperoleh, aku akan mengutuk engkau, O pemilik cakram dan gada! Karena engkau telah mengabaikan para Kuru dan Pandawa sehingga saling membunuh satu sama lainnya, oleh karenanya, O Govinda, engkau akan menjadi pembunuh sanak-Mu sendiri! Pada tahun ke 36 sejak sekarang, O pembunuh dari Madhu, engkau, setelah menyebabkan pembantaian kerabatMu, teman-temanMu dan anak-anakMu, binasa dengan cara menjijikkan di padang gurun. Para wanita dari ras-Mu, kehilangan anak, sanak saudara, dan teman-teman, akan meratap dan menangis seperti para wanita dari ras Bharata ini!'"



Vaishampayana melanjutkan, "Mendengar kata-kata ini, Vasudeva Sang Jiwa utama, kepada Gandhari, mengatakan kepadanya kata-kata ini, dengan senyum tipis,"Tidak ada di dunia, yang menyelamatkan diri, yang mampu membasmi bangsa Vrishni. Aku tau ini dengan pasti. Aku akan wujudkan. Dalam mengucapkan kutukan ini, O ini kaulmu yang sangat baik, Engkau telah membantu aku menyelesaikannya. Bangsa Vrishni tidak mampu dibunuh oleh yang lainnya, baik itu para manusia atau dewa atau Danava. Bangsa Yadawa, karenanya akan musnah oleh tangan mereka sendiri." Setelah Ia dari ras Dasharha mengatakan ini, Pandawa menjadi terheran-heran. Dipenuhi dengan kecemasan, mereka semua menjadi hidup tersia-sia!

Mosalaparwa

Mosalaparwa atau Mausalaparwa mengisahkan musnahnya para Wresni, Andhaka dan Yadawa, sebuah kaum di Mathura-Dwaraka (Dwarawati) tempat Sang Kresna memerintah. Kisah ini juga menceritakan wafatnya Raja Kresna dan saudaranya, Raja Baladewa.
Diceritakan bahwa pada saat Yudistira naik tahta, dunia telah memasuki zaman Kali Yuga atau zaman kegelapan. Beliau telah melihat tanda-tanda alam yang mengerikan, yang seolah-olah memberitahu bahwa sesuatu yang mengenaskan akan terjadi. Hal yang sama dirasakan oleh Kresna. Ia merasa bahwa kejayaan bangsanya akan berakhir, sebab ia melihat bahwa banyak pemuda Wresni, Yadawa, dan Andhaka yang telah menjadi sombong, takabur, dan senang minum minuman keras sampai mabuk.
Pada suatu hari, Narada beserta beberapa resi berkunjung ke Dwaraka. Beberapa pemuda yang jahil merencanakan sesuatu untuk mempermainkan para resi. Mereka mendandani Samba (putera Kresna dan Jembawati) dengan busana wanita dan diarak keliling kota lalu dihadapkan kepada para resi yang mengunjungi Dwaraka. Kemudian salah satu dari mereka berkata, "Orang ini adalah permaisuri Sang Babhru yang terkenal dengan kesaktiannya. Kalian adalah para resi yang pintar dan memiliki pengetahuan tinggi. Dapatkah kalian mengetahui, apa yang akan dilahirkannya? Bayi laki-laki atau perempuan?". Para resi yang tahu sedang dipermainkan menjadi marah dan berkata, "Orang ini adalah Sang Samba, keturunan Basudewa. Ia tidak akan melahirkan bayi laki-laki ataupun perempuan, melainkan senjata mosala yang akan memusnahkan kamu semua!" (mosala = gada)
Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Sang Samba melahirkan gada besi dari dalam perutnya. Atas perintah Raja Ugrasena, senjata itu kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk. Beberapa bagian dari senjata tersebut sulit dihancurkan sehingga menyisakan sepotong besi kecil. Setelah senjata tersebut dihancurkan, serbuk dan serpihannya dibuang ke laut. Lalu Sang Baladewa dan Sang Kresna melarang orang minum arak. Legenda mengatakan bahwa serbuk-serbuk tersebut kembali ke pantai, dan dari serbuk tersebut tumbuhlah tanaman seperti rumput namun memiliki daun yang amat tajam bagaikan pedang. Potongan kecil yang sukar dihancurkan akhirnya ditelan oleh seekor ikan. Ikan tersebut ditangkap oleh nelayan lalu dijual kepada seorang pemburu. Pemburu yang membeli ikan itu menemukan potongan besi kecil dari dalam perut ikan yang dibelinya. Potongan besi itu lalu ditempa menjadi anak panah.
Setelah senjata yang dilahirkan oleh Sang Samba dihancurkan, datanglah Batara Kala, Dewa Maut, dan ini adalah pertanda buruk. Atas saran Kresna, para Wresni, Yadawa dan Andhaka melakukan perjalanan suci menuju Prabhastirtha, dan mereka melangsungkan upacara di pinggir pantai. Di pantai, para Wresni, Andhaka dan Yadawa tidak bisa menghilangkan kebiasaan buruk mereka, yaitu minum arak sampai mabuk. Dalam keadaan mabuk, Satyaki berkata, "Kertawarma, kesatria macam apa kau ini? Dalam Bharatayuddha dahulu, engkau telah membunuh para putera Dropadi, termasuk Drestadyumna dan Srikandi dalam keadaan tidur. Perbuatan macam apa yang kau lakukan?". Ucapan tersebut disambut oleh tepuk tangan dari Pradyumna, yang artinya bahwa ia mendukung pendapat Satyaki. Kertawarma marah dan berkata, "Kau juga kejam, membunuh Burisrawa yang tak bersenjata, yang sedang meninggalkan medan laga untuk memulihkan tenaga".
Setelah saling melontarkan ejekan, mereka bertengkar ramai. Satyaki mengambil pedang lalu memenggal kepala Kertawarma di hadapan Kresna. Melihat hal itu, para Wresni marah lalu menyerang Satyaki. Putera Rukmini menjadi garang, kemudian membantu Satyaki. Setelah beberapa lama, kedua kesatria perkasa tersebut tewas di hadapan Kresna. Kemudian setiap orang berkelahi satu sama lain, dengan menggunakan apapun sebagai senjata, termasuk tanaman eruka yang tumbuh di sekitar tempat tersebut. Ketika dicabut, daun tanaman tersebut berubah menjadi senjata setajam pedang. Dengan memakai senjata tersebut, para keturunan Wresni, Andhaka, dan Yadu saling membunuh sesama. Tidak peduli kawan atau lawan, bahkan ayah dan anak saling bunuh. Anehnya, tak seorang pun yang berniat untuk meninggalkan tempat itu. Dengan mata kepalanya sendiri, Kresna memperhatikan dan menyaksikan rakyatnya digerakkan oleh takdir kehancuran mereka. Dengan menahan kepedihan, ia mencabut segenggam rumput eraka dan mengubahnya menjadi senjata yang dapat meledak kapan saja. Setelah putera dan kerabat-kerabatnya tewas, ia melemparkan senjata di tangannya ke arah para Wresni dan Yadawa yang sedang berkelahi. Senjata tersebut meledak dan mengakhiri riwayat mereka semua.
Akhirnya para keturunan Wresni, Andhaka dan Yadu tewas semua di Prabhasatirtha, dan disaksikan oleh Kresna. Hanya para wanita dan beberapa kesatria yang masih hidup, seperti misalnya Babhru dan Bajra. Kresna mampu menyingkirkan kutukan brahmana yang mengakibatkan bangsanya hancur, namun ia tidak mau mengubah kutukan Gandari, Ia mengetahui bahwa tidak ada yang mampu mengalahkan bangsa Wresni, Yadawa dan Andhaka kecuali diri mereka sendiri. Bangsa itu mulai senang bermabuk-mabukan sehingga berpotensi besar mengacaukan Bharatavarsa yang sudah berdiri kokoh. Setelah menyaksikan kehancuran bangsa Wresni, Yadawa, dan Andhaka dengan mata kepalanya sendiri. Kemudian Balarama pergi ke hutan, sedangkan Kresna mengirim utusan ke kota para Kuru, untuk menempatkan wanita dan kota Dwaraka di bawah perlindungan Pandawa; Babhru disuruh untuk melindungi para wanita yang masih hidup sedangkan Daruka disuruh untuk memberi tahu para keturunan Kuru bahwa Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa telah hancur. ke hadapan Raja Yudistira di Hastinapura. 
Sri Krisna kemudian pergi ke hutan tempat dimana Balarama menunggunya. Kresna menemukan kakaknya duduk di bawah pohon besar di tepi hutan; ia duduk seperti seorang yogi. Kemudian ia melihat seekor ular besar keluar dari mulut kakaknya, yaitu naga berkepala seribu bernama Ananta, dan melayang menuju lautan yang di mana naga dan para Dewa datang berkumpul untuk bertemu dengannya.
Dalam Bhagawatapurana dikisahkan setelah Baladewa ambil bagian dalam pertempuran yang menyebabkan kehancuran Dinasti Yadu Setelah itu Ia duduk bermeditasi di bawah pohon dan meninggalkan dunia dengan mengeluarkan ular putih besar dari mulutnya, kemudian diangkut oleh ular tersebut, yaitu Sesa.
Setelah menyaksikan kepergian kakaknya, Kresna kemudian duduk disebuah batu dibawah pohon di Prabhasa Tirta, mengenang segala peristiwa Ia tahu bahwa sudah saatnya ia ‘kembali’. Kemudian ia memulai menutup panca indrianya melakukan yoga dengan sikap Lalita Mudra. Bagian dibawah kakinya berwarna kemerah-merahan. 
Saat itu ada seorang Vyadha (pemburu) bernama Jara, setelah seharian tidak mendapat buruan, melihat sesuatu berwarna kerah-merahan, Ia pikir, ‘Ah, akhirnya kutemukan juga buruanku’, Ia memanahnya dengan panah yang berasal dari sepotong besi yang berasal dari senjata mosala yang telah dihancurkan kemudian panah itu diberi racun. Ia memanah dan panah itu tepat mengenai benda kemerah-merahan itu. Jara, sang Pemburu segera berlari ketempat itu untuk menangkap mangsanya dan dilihatnya Shri Krisna yang berjubah kuning sedang melakukan Yoga namun dengan tubuh kebiru-biruan akibat menyebarnya racun panah itu. Jara kemudian meminta ma'af atas kesalahannya itu. Sri Kresna tersenyum dan berkata, ‘Kesalahan-kesalahan sedemikian ini jamak dilakukan manusia. Seandainya aku adalah engkau tentu akupun melakukan kesalahan itu. Kamu tidak dengan sengaja melakukannya. Jangan di pikir. Kamu tidak tahu sebelumnya aku berada di tempat ini. Kamu tidak dapat dihukum secara hukum maupun moral, Aku mengampunimu. Aku sudah menyelesaikan hidupku’. 
Ketika Daruka tiba di Hastinapura, ia segera memberitahu para keturunan Kuru bahwa keturunan Yadu di Kerajaan Dwaraka telah binasa karena perang saudara. Beberapa di antaranya masih bertahan hidup. Setelah mendengar kabar sedih tersebut, Arjuna mohon pamit demi menjenguk Basudewa (Sri Krisna). Dengan diantar oleh Daruka, ia pergi menuju Dwaraka.
Setibanya di Dwaraka, Arjuna mengamati bahwa kota tersebut telah sepi. Ia juga berjumpa dengan Orang-orang tua, anak-anak, janda-janda yang ditinggalkan mati oleh para suaminya di dalam peperangan, Istri-istri Krisna sejumlah 16.000 (Dalam Bhagavata Purana 10.59.33 dan Visnu Purana 5.29 disebutkan 16.100 atau di Bhagavata Purana10.61.18, yaitu 8 istri utama + 16.100 = 16.108). Arjuna bersama para ksatria yang tersisa kemudian membawa pergi para Brahmana, Ksatria, waisya, sudra, wanita dan anak-anak Wangsa Wresni, untuk menyebarkannya di sekitar Kurukshetra. Kemudian Arjuna bertemu dengan Basudewa yang sedang lunglai. Setelah menceritakan beberapa pesan kepada Arjuna, Basudewa mangkat.
Sesuai dengan amanat yang diberikan kepadanya, Arjuna mengajak para wanita dan beberapa kesatria untuk mengungsi ke Kurukshetra. Sebab menurut pesan terakhir dari Sri Kresna, kota Dwaraka akan disapu oleh gelombang samudra, 7 hari setelah wafatnya.
Dalam perjalanan menuju Kurukshetra, tibalah mereka di negara 5 air dan rombongan Arjuna dihadang oleh ribuan ksatria Abhira dari negara 5 Sungai yang mengetahui kedatangan rombongan tersebut. Para ksatria abhira tersebut melihat bahwa yang mengawal hanya Arjuna, sedangkan ksatria wresni telah kehilangan energinya. Saat mereka berperang, kekuatan Arjuna tidak berfungsi seperti biasanya dan menjadi lenyap, busurnya tidak dapat direntangkan, panah-panah saktinya tidak dapat dikeluarkan. Tidak banyak yang bisa dilakukan ksatria hebat tersebut. 
Takdir kehancuran berjalan menurut aturannya, Para penyerang berhasil membawa kabur sebagian besar para wanita. Ia sadar bahwa takdir kemusnahan sedang bergerak. Akhirnya beberapa orang berhasil diselamatkan namun banyak harta dan wanita yang hilang. Arjuna menempatkan yang selamat bersama dengan sisa keturunan Kresna di kota yang baru, merekalah yang meneruskan tradisi pemujaan terhadap Hari (Krisna); Rukmini dan 7 Istri Kresna yang lainnya melakukan Sati (satya), membakar dirinya sendiri ke dalam api, dan yang lainnya menjadi pertapa atau pendeta. Di Kurukshetra, para Yadawa dipimpin oleh Bajra. Tepat Tujuh hari sesuai yang dikatakan Krisna, air lautan menyerbu dan membanjiri Dwaraka sehingga tidak ada lagi jejak-jejak yang ditinggalkan.
  
Yang menarik dari beberapa versi catatan kematian Krisna adalah:
Bangsa Yadawa terkenal tidak terkalahkan sehingga menjadi sombong, arogan kasar dan gemar mabuk-mabukan dan di sekitar hutan saat itu, justru sedang terjadi perang dashyat yang berujung musnahnya bangsa Yadawa, maka bagaimana mungkin ada seorang Pemburu yang begitu santainya tak terusik dan masih berburu?
Sebagai seorang pemburu rusa, tentunya ia mengerti prilaku rusa yang sangat waspada dan gampang terkejut, maka bagaimana mungkin masih terdapat rusa disekitar perang besar bangsa Yadawa tersebut?.

Satu kebetulan menarik lainnya adalah arti nama Jara adalah usia tua, Sehingga ada pendapat juga bahwa kematian Krisna yang di panah pemburu bernama Jara adalah sebuah metaphora? yaitu wafat karena usia tua [125 tahun]. 

Kamis, 08 Oktober 2015

Pembentukan Komcat Venanleisela Oleh DPK Peradah Buru

             Pada hari Kamis tanggal 8 Oktober 2015 DPK Peradah Buru melantik pengurus Komcat Peradah Venanleisela di Desa Bal Balu. Kegiatan tersebut dihadiri oleh pengurus DPK Buru dan perwakilan Komcat diberbagai Pulau
Buru. Juga hadir Penyuluh Agama Hindu Kantor Kementerian Agama Kabupaten Buru Hadi Nur Slamet S.Ag.

Para Pengurus Peradah Komcat Venanleisela dilantik langsung oleh Ketua DPK Peradah Buru Agus Kasianto, S.Sos.H serta disaksikan masyarakat Desa Bal Balu dan undangan dari Kecamatan Air Buaya yang merupakan umat Hindu etnis Buru di kawasan Buru Barat.

FOTO



Kegiatan Seremonial

Pelantikan Oleh Ketua DPK Buru


Sambutan Ketua DPK Buru

Penyuluh Agama Hindu Kab. Buru memberikan wawasan tentang Organisasi
_________________________________________________
Adapun pengurus inti Komcat Venanleisela adalah sebagai berikut:

Ketua:  Tamin Leslesy
Sekretaris : Amina Lehalima
Bendahara:  Arit Leslesy

Semoga Peradah Semakin Jaya!!!

©copyright 2015




Selasa, 06 Oktober 2015

Peradah Maluku Menghadiri Pembukaan Pesparawi Nasional di Ambon

# Ketua Peradah Maluku berkesempatan hadir dalam undangan P
embukaan Pesparawi Nasional (Pesta Paduan Suara Gerejawi) XI di Stadion Pemuda Mandala Karangpanjang Ambon.

Pesparawi dibuka oleh Presiden Jokowi serta menghadirkan Penyanyi asal Italia Seriosa bersuara Tenor yaitu Fabio Andreotti. Berbagai macam atraksi dan pergelaran kolodal juga ditampilkan agar acara tambah semarak.

FOTO ACARA:





Pesparawi dilaksakan dari tanggal 2 sd 12 Oktober 2015 di Kota Ambon Manise.

REPORTER


√ BudiMustiko Budi



Sabtu, 03 Oktober 2015

Sejarah Peradah DPP Maluku

Sejarah Peradah DPP Maluku
______________________________

Ambon, Purnama pada 18 September 2005 nenggoreskan catatan sejarah tersendiri bagi umat Hindu Maluku, khususnya bagi generasi muda dan wanitanya. Dewan Pimpinan Propinsi (DPP) Peradah Indonesia Maluku dan Pengurus Daerah Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) Maluku terbentuk.

Ide awal berasal dari A.A. Gede Putra, SIP, MM, profesional muda yang bekerja di jajaran pimpinan sebuah bank pemerintah terkemuka di Kantor Cabang Maluku, yang dalam kegiatan sosialnya masih menjabat sebagai Bendahara Umum DPN Peradah Indonesia. Agung Putra "menantang" generasi muda Hindu Maluku untuk merealisasikan wadah sebagai wahana berkiprah dan menunjukan eksistensi pemuda Hindu Maluku yang juga merupakan bagian dari pemuda Hindu Indonesia. Gayung bersambut, generasi muda Hindu Maluku pun merasa sudah cukup lama bercita-cita punya wadah.

"Kami malah sejak tahun 1997 sudah ingin membentuk wadah ini, namun keburu krisis ekonomi yang disusul dengan konflik di Maluku ini," kata salah seorang dari mereka.

Sambutan antusias generasi muda Hindu Maluku membentuk DPP Peradah Indonesia Maluku disambut oleh Ibu Dra. IGA Sri Astuti, MS; Ketua Parisada Propinsi Maluku. "Sekalianlah kita bentuk WHDI Maluku. Dengan demikian Parisada punya mitra baik dari kalangan pemuda maupun wanita dalam membina umat di Maluku," ucap Kepala BKKBN Propinsi Maluku ini. Usai sembahyang Purnama bersama-sama, pelantikan DPP Peradah Indonesia Maluku dan WHDI Maluku dilaksanakan dalam suasana khidmad di madya mandala Pura Ciwa Stana Giri Ambon.

Pelantikan pengurus DPP Peradah Indonesia Maluku yang didominasi oleh putra-putra Hindu asli Maluku dengan Ketua Ir. K. Tunas, MS dan Sekretaris I W Sutapa, S.Si. dilakukan langsung oleh Ketua Umum DPN DPP Peradah Indonesia KS Arsana, yang secara khusus datang dari Jakarta bersama Adi Setiawan, Ketua Bidang Usaha dan Dana. Sedangkan pengurus WHDI Maluku dengan Ketua Ny. Nengah Sukarta dan Sekretaris Desak Ketut Kusmira dilantik oleh Ketua Parisada Propinsi Maluku.

Dalam sambutannya, Ketua Parisada Maluku menekankan bahwa keberadaan Peradah dan WHDI di Maluku diharapkan dapat bekerja bersama-sama Parisada dalam memberi pemahaman dan pencerahan Agama Hindu kepada seluruh umat di Provinsi Maluku yang tersebar di beberapa pulau. Hadir saat pelantikan Drs. Ketut Darsa, Pimpinan Cabang BNI di Maluku bersama umat Hindu di Ambon. Acara pelantikan diakhiri dengan potong tumpeng dan dilanjutkan ramah tamah sambil santap malam bersama. Secercah semangat dan harapan bagi umat Hindu lebih bersinar dari wilayah timur Indonesia. 

Source :   Media Hindu 22 Desember 2005
Credit I Wayan Sutapa.

© Copyright 2015

Jumat, 02 Oktober 2015

Perjalanan Peradah Maluku Ke Danau Rana Pedalaman Buru

NAPAK TILAS HINDU ADAT DI BUMI BUPOLO


Perjalanan Pengurus Peradah Maluku ke Pedalaman Danau Rana di Pulau Buru, Provinsi Maluku. Dengan tekat yang kuat dan motivasi tinggi mengulang kejayaan Hindu di Nusantara kami memasuki medan gunung, hutan, jurang dan juga danau agar umat Hindu etnis Buru merasa bangga bahwa saudara mereka mau berkunjung dan memperhatikan mereka.







Dalam perjalanan ini kami tempuh dalam waktu 4 jam dengan kondisi medan seperti gambar berikut.



Perjalanan dimulai dari ibukota kabupaten Buru yaitu Namlea.  Perjalanan dari Namlea ke kampung terdekat dari base camp (pos tempat sewa mobil khusus off road double gardan)  adalah 3 jam, setelah itu sewa mobil strada ( karena yg beroprasi cuma mobil strada yang lain gak ada).

Dalam perjalanan kita bisa melihat panorama yang indah,  sesekali kita turun dari mobil karena jalan yang sebagian besar dari tanah labil mengalami longsor. Setelah sampai di dusun waigrahi yaitu dusun terdekat dari danau rana yang merupakan danau keramat bagi umay Hindu etnis Buru semua lelah dan capet terbayar apalagi kami bisa berdialog, bertukar pikiran serta mendengarkan keluh kesah umat yang ada di pedalaman tentunya dengan akses yang susah.

Sekian cerita perjalanan saya ke Danau Rana,  saya akan bahas tentang Mitos dan asal usul Orang Buru pada artikel berikutnya.......

JAYALAH PERADAH!!!!!

Tim Lapangan (TRIP ADVENTURE)

√ Mustiko Budi (Koko)
√ IG Sudarma Yamko (Darma)
√ Verdy Waemese (pardidu)
√ Net Leslessy (Putra)

Suported By

~ Masyarakat Hindu Kecamatan Air Buaya dan Venanleisela Kabupaten Buru Povinsi Maluku, special thanks for Mr. Lintas Leslessy and Cong Waemese.

©Copyright 2015